Sekarang kita lihat bagian terakhir dari cara wudhu yaitu tartib dan muwalah. Apa itu?
Kitab Ath-Thaharah (Bersuci), Bab Sifat Wudhu
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:
5- Mengerjakannya secara tartib (berurutan) sebagaimana urutan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
6- Tidak memisah dengan jeda yang lama sesuai ‘urf ketika membasuh satu bagian dengan bagian lainnya di mana satu bagian dan lainnya bersambung saat dibasuh. Begitu pula segala sesuatu yang menyaratkan mesti ada muwalah.
Tartib (Berurutan) Ketika Melakukan Rukun Wudhu
Ini adalah rukun kelima. Dalilnya adalah ayat wudhu (surah Al-Maidah ayat 6). Allah menyebutkannya secara berurutan dan meletakkan mengusap (pada kepala) di antara dua membasuh.
Juga ketika ditunjukkan praktik wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berurutan dan beliau tidak pernah meninggalkan tartib tersebut.
Tartib dalam wudhu adalah dengan memulai dari membasuh wajah, lalu membasuh kedua tangan sampai siku, lalu mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
Jika seseorang membasuh langsung empat anggota wudhunya satu kali siraman, maka tidaklah sah kecuali yang sah hanya membasuh wajahnya saja karena urutannya yang pertama. Lihat perkataan Imam Asy-Syairazi. (Al-Majmu’, 1:248)
Muwalah, Apa itu dan Bagaimana Hukumnya?
Muwalah sebagaimana diterangkan oleh Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam kalimat beliau di atas, “Tidak memisah dengan jeda yang lama sesuai ‘urf ketika membasuh satu bagian dengan bagian lainnya di mana satu bagian dan lainnya bersambung saat dibasuh.”
Muwalah ini beliau masukkan dalam rukun keenam dan dihukumi wajib. Artinya, jangan sampai satu anggota wudhu itu kering sebelum membasuh anggota berikutnya.
Di antara alasan wajibnya adalah hadits dari Khalid bin Ma’dan, dari sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَأَى رَجُلاً يُصَلِّى وَفِى ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلاَةَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang shalat dalam keadaan punggung telapak kakinya terdapat bagian yang berkilau karena tidak terbasuh oleh air wudhu sebesar dirham. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan padanya untuk mengulangi wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu Daud, no. 175. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih, begitu pula Syaikh Al-Albani.)
Seandainya muwalah tidak wajib, maka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membasuh bagian yang tidak terbasuh saja, tidak sampai memerintahkan mengulangi wudhu.
‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa ada seseorang yang berwudhu lantas ia meninggalkan satu bagian sebesar kuku tidak terbasuh. Hal itu lantas dilihat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda,
ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ
“Ulangilah perbaguslah wudhumu.” (HR. Muslim, no. 243)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Memisah sebentar antara anggota wudhu tidaklah bermasalah. Hal ini disepakati oleh para ulama.” (Al-Majmu’, 1:252). Yang beda pendapat di sini adalah kalau terjadi jeda yang lama. Pendapat Imam Syafi’i yang qadim (lama) tidak membolehkan, sedangkan pendapat jadid (baru) membolehkan tidak ada muwalah sebagaimana disebutkan oleh Imam Asy-Syairazi.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Dengan ini berakhirlah pembahasan tata cara wudhu.
Referensi:
- Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. Cetakan kedua, Tahun 1427 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
- Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan ketiga, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj. hlm. 50-51.
—
Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Kamis sore, 12 Rabi’ul Awwal 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com